KATA
PENGANTAR
Puji serta
syukur penyusun senantiasa panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan
kesehatan dan berbagai kemudahan sehingga penyusun bisa menyelesaikan makalah
yang berjudul “olahraga di tinjau dari aspek kejiwaan”
Penyusunan
makalah ini dapat terselesaikan berkat adanya bantuan dan dukungan dari semua
pihak. Penulis mengucapkan terimakasih yang tiada terhingga kepada semua pihak
yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah .
Penyusun
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh
sebab itu penyusun sangat menantikan
kritik dan saran yang membangun, untuk kebaikan di kemudian hari. Penyusun berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat khususnya kepada penulis maupun kepada pembaca umumnya.
Ciamis, Maret 2013
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................ i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang .................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah ............................................................................. 2
C.
Tujuan ................................................................................................ 3
D.
Manfaat ............................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN
A.
Anxiety (Kecemasan) Dalam Olahraga ............................................. 4
B.
Stres Dalam Olahraga (Gejala
emosional) ......................................... 10
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan ........................................................................................ 24
B.
Saran ................................................................................................. 24
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teori
kesatuan psiko-fisik atau teori psiko-fisik totalitas berkembang karena para
ahli menyadari bahwa oranq yang keadaan kejiwaannya mengalami gangguan, karena
rasa susah, gelisah atau ragu-ragu menghadapi sesuatu, ternyata mempengaruhi kondisi
fisiknya. Akibat rasa susah dan gelisah menghadapi masa depan, seseorang kurang
dapat tidur nyenyak, sehingga akhirnya mempengaruhi tingkahlaku dan
penampilan¬nya. Sebaliknya keadaan fisik yang kurang sehat, karena sedang
sakit, sesudah mengalami kecelakaan dan cidera, juga dapat mempengaruhi
kejiwaan individu yang bersangkutan; kurang dapat memusatkan perhatian pada
masalah yang dihadapi, kurang dapat berfikir dengan tenang, kurang dapat berfikir
dengan cepat, dsb-nya.
Sejak lebih
kurang setengah abad yang lalu adanya hubungan timbal-balik an¬tara jiwa dan
raga, atau antara gejala fisik dan psikik, telah menjadi bahan pembahasan para
ahli psikologi. Ronge (1951) menyebutkan manusia sebagai suatu organisme, yang
mengikuti hukum-hukum biologi, hukum-hukum dalam pikir, rasa keadilan, dsb.
Perasaan atau emosi memegang peranan penting dalam hidup manusia. Semua ge-jala
emosional seperti: rasa takut, marah, cemas, stress, penuh harap, rasa senang
dsb, dapat mempengaruhi perubahan-perubahan kondisi fisik seseorang. Perasaan
atau emosi dapat memberi pengaruh-pengaruh fisiologik seperti: ketegangan otot,
denyut jantung, peredaran darah, pernafasan, berfungsinya kelenjar-kelenjar
hormon tertentu.
Sehubungan
itu semua maka jelaslah bahwa gejala psikik akan mempengaruhi penampilan dan
prestasi atlet. Dalam hubungan ini pengaruh gangguan emosional perlu
diperhatikan, karena gangguan emosional dapat mempengaruhi "psychological
stability" atau keseimbangan psikik secara keseluruhan, dan ini berakibat
besar terhadap pencapaian prestasi atlit.
Dalam melakukan kegiatan olahraga, lebih-lebih untuk dapat mencapai prestasi yang tinggi, diperlukan berfungsinya aspek-aspek kejiwaan tertentu; misalnya untuk mencapai prestasi yang tinggi dalam cabang olahraga panahan atau menembak, maka atlet harus dapat memusatkan perhatian dengan baik, penuh percaya diri, tenang, dapat berkonsentrasi penuh meski ada gangguan angin atau suara, dll-nya. untuk, menjadi peloncat indah atau peloncat menara yang berprestasi tinggi, atlet yang bersangkutan harus memiliki rasa percaya diri, keberanian, daya konsentrasi, kemauan keras, koordinasi.gerak yang baik, dan rasa keindahan; ini semua akan dapat, terganggu apabila atlet yang bersangkutan mengalami gangguan emosional.
Dalam melakukan kegiatan olahraga, lebih-lebih untuk dapat mencapai prestasi yang tinggi, diperlukan berfungsinya aspek-aspek kejiwaan tertentu; misalnya untuk mencapai prestasi yang tinggi dalam cabang olahraga panahan atau menembak, maka atlet harus dapat memusatkan perhatian dengan baik, penuh percaya diri, tenang, dapat berkonsentrasi penuh meski ada gangguan angin atau suara, dll-nya. untuk, menjadi peloncat indah atau peloncat menara yang berprestasi tinggi, atlet yang bersangkutan harus memiliki rasa percaya diri, keberanian, daya konsentrasi, kemauan keras, koordinasi.gerak yang baik, dan rasa keindahan; ini semua akan dapat, terganggu apabila atlet yang bersangkutan mengalami gangguan emosional.
Emosi atau
perasaan atlet perlu mendapat perhatian khusus dalam olahraga, karena emosi
atlet di samping mempengaruhi aspek-aspek kejiwaan yang lain (akal dan
kehendak), juga mempengaruhi aspek-aspek fisiologiknya sehingga jelas akan
berpengaruh terhadap peningkatan atau merosotnya prestasi atlet.
Ditinjau
dari konsep jiwa dan raga sebagai kesatuan yang bersifat organis, maka gangguan
emosional terhadap diri atlet akan berpengaruh terhadap keadaan kejiwaan atlet
secara keseluruhan, ketidak-stabilan emosional atau "emotional instability"
akan mengakibatkan terjadinya psychological instability", dan akan
mempengaruhi peran fungsi-fungsi psikologisnya, dan pada akhirnya berpengaruh
terhadap pencapaian prestasi atlet.
B. Rumusan Masalah
Dalam
permasalahan di atas penulis lebih menekankan beberapa masalah diantaranya:
1.
Apakah pengertian dari Anxiety
(kecemasan) dalam olahraga?
2.
Apakah pengertian dari stres dalam
olahraga ?
3.
Bagaimana upaya pengendaliannya
C. Tujuan
Penulis menyusun makalah ini dengan tujuan :
1.
Untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh kecemasan, stress dan upaya pengendalian seorang atlet dalam
mengahadapi masalah seperti dalam olahraga olahraga terhadap prestasi seorang
atlet
2.
Mengupayakan agar tugas dan peran
pokok seorang pelatih untuk membangun percaya diri seorang atlet dengan baik
yang pada akhirnya tujuan utama prestasi olahraga bisa tercapai
D. Manfaat
Manfaat yang
ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah agar para pelatih, guru dan
orang yang bergelut didalamnya melaui pemahaman akan fungsi tugas dan perannya
bisa meningkatkan kemampuan mendidik atau mengajar terhadap anak didiknya serta
mampu mengembangkan potensi diri peserta didik, mengembangkan kreativitas dan
mendorong adanya penemuan keilmuan dan teknologi yang inovatif, sehingga para
Atlet/siswa mampu bersaing dalam masyarakat global.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Anxiety (Kecemasan) Dalam Olahraga
Kita semua
tentu pernah merasa takut atau cemas dalam berbagai situasi. Takut dimarahi,
takut tidak lulus, takut tidak puss, takut kalah, dan sebagainya. Demikian pula
atlet. Dalam menghadapi pertandingan, wajar saja kalau atlet menjadi tegang,
bimbang, takut, cemas, terutama kalau menghadapi lawan yang lebih kuat atau
seimbang, dan kalau situasinya mencekam. Ketakutan pada atlet pada umumnya dapat
diklasifikasikan dalam beberapa kategori (Cratty, 1973):
a.
Takut gagal dalam pertandingan
b.
Takut akan akibat sosial atas mutu
prestasi mereka
c.
Takut kalau cedera atau mencederai
lawan
d.
Takut fisiknya tidak akan mampu
menyelesaikan tugasnya atau pertandingan dengan baik
e.
(Dan percaya atau tidak), ada pula atlet
yang takut menang.
Hasil-hasil
penelitian cenderung menunjukkan bahwa atlet paling takut pada akibat sosial
yang akan mereka peroleh atas mutu prestasi mereka. Misalnya takut gagal
memenuhi harapan pelatih, KONI, pemerintah, takut dice¬mooh, dikritik, dikecam
masyarakat.
1.
Kecemasan dan Motif Berprestasi
Suasana
stress wring sekali membuat seseorang hidup penuh gairah, karena dapat
mengatasi suasana penuh stress dapat menimbulkan kepuasan dan kebang¬gaan pada
diri seseorang. Yang lebih penting dalam pembinaan atlet, yaitu me¬ningkatkan
kemampuan mengatasi stress juga akan menjauhkan kemungkinan atlet mengalami
kecerr.asan.
Stress yang berlangsung terus-menerus dapat menimbuikan kecemasan, karena itu tingkat ketegangan yang dapat menimbulkan stress harus selalu dimonitor terus-menerus, disesuaikan dengan kemampuan atlet menghadapi suasana stress.
Stress yang berlangsung terus-menerus dapat menimbuikan kecemasan, karena itu tingkat ketegangan yang dapat menimbulkan stress harus selalu dimonitor terus-menerus, disesuaikan dengan kemampuan atlet menghadapi suasana stress.
Di cam¬ping
itu tingkat berat-rinqannya.4Qtegangan yang dapat ditanagung oleh atlet,
khususnya atlet yunior, juga harus selalu diperhatikan karena stress atau
ketegangan psikis yang terlalu besar, yang tidak tertahankan oleh atlet, juga
dapat menimbulkan kecemasan.
Crafty (1973) membedakan kemungkinan timbulnya kecemasan karena takut cidera atau "harm anxiety" atau kecemasan karena takut gagal atau "failure anxie¬ty". Dalam hubungan ini Crotty mengemukakan sebagai berikut:
Crafty (1973) membedakan kemungkinan timbulnya kecemasan karena takut cidera atau "harm anxiety" atau kecemasan karena takut gagal atau "failure anxie¬ty". Dalam hubungan ini Crotty mengemukakan sebagai berikut:
"Thus,
failure anxiety is related to .the individual's perception of the social
consequences of his relative success or failure in a situation: This type of
fear was more important to most of the individuals polled than was harm
anxiety, or the fear of being physically incapacitated.
Penelitian lebih lanjut mengenai kecemasan karena takut cidera dan kecemasan karena takut gagal, diakui oleh Crotty belum dikembangkan lebih lanjut. Mengenai kecemasan karena takut gagal di satu pihak dan harapan untuk sukses di lain pihak merupakan hal yang cukup menank untuk dijadikan bahan studi. Sehubungan ini Crotty mengemukakan sebagai berikut~
Penelitian lebih lanjut mengenai kecemasan karena takut cidera dan kecemasan karena takut gagal, diakui oleh Crotty belum dikembangkan lebih lanjut. Mengenai kecemasan karena takut gagal di satu pihak dan harapan untuk sukses di lain pihak merupakan hal yang cukup menank untuk dijadikan bahan studi. Sehubungan ini Crotty mengemukakan sebagai berikut~
"The
degree to which anxiety levels in an individual interfere with performance,
therefore, is probably related to the individual's feelings about success vs.
failure and his overall need for achievement."
Selama berlangsungnya Olympic Games 1968 oleh para ahli psikologi olahraga telah diadakan penelitian mengenai hubungan antara kecemasan, motif berprestasi, dengan penampilan para atlet. Atlet-atlet sebagai subyek penelitian dibagi dalam empat kelompok, yaitu yang memiliki kecemasan tinggi atau "high anxiety" dan yang memiliki kecemasan rendah atau "low anxiety"; kemudian tiap kelompok tersebut dibagi lagi atas dasar (kriteria) mereka yang memiliki motif berprestasi tinggi atau "high needs for achievem dan yang memiliki motif berprestasi rendah atau "low needs for achievement
Selama berlangsungnya Olympic Games 1968 oleh para ahli psikologi olahraga telah diadakan penelitian mengenai hubungan antara kecemasan, motif berprestasi, dengan penampilan para atlet. Atlet-atlet sebagai subyek penelitian dibagi dalam empat kelompok, yaitu yang memiliki kecemasan tinggi atau "high anxiety" dan yang memiliki kecemasan rendah atau "low anxiety"; kemudian tiap kelompok tersebut dibagi lagi atas dasar (kriteria) mereka yang memiliki motif berprestasi tinggi atau "high needs for achievem dan yang memiliki motif berprestasi rendah atau "low needs for achievement
2.
Kecemasan dan Prustasi
Antara
stress, "arousal", dan kecemasan atau "anxiety", menurut
Richard H. Cox ada keterkaitannya. Kecemasan dapat didifinisikan sebagai
perasaan subyektif g berdasarkan ketakutan dan meningkatnya "physiological
arousal" (Levitt, 1980).
Mengenai
hubungan stress dengan kecemasan, Soparinch dan Sumorno ,kum (1982)
mengemukakan sebagai berikut:
"Bila stress yang dialami seseorang terlalu besar baginya, hingga tidak dapat dilakukan tindakan untuk mengatasi; atau bila stress yang dihadapi seseorang berlangsung terus-menerus, maka akan timbul kecemasan. Kecemasan adalah suatu perasaan tak berdaya, perasaan tak aman, tanpa sebab yang jelas. Perasaan cemas atau anxiety kalau dilihat dari kata "anxiety" berarti perasaan tercekik".
"Bila stress yang dialami seseorang terlalu besar baginya, hingga tidak dapat dilakukan tindakan untuk mengatasi; atau bila stress yang dihadapi seseorang berlangsung terus-menerus, maka akan timbul kecemasan. Kecemasan adalah suatu perasaan tak berdaya, perasaan tak aman, tanpa sebab yang jelas. Perasaan cemas atau anxiety kalau dilihat dari kata "anxiety" berarti perasaan tercekik".
Perasaan cemas
dapat terjadi pada atlet pada waktu menghadapi keadaan tertentu, misalnya dalam
menghadapi kompetisi yang memakan waktu panjang dan¬ternyata atlet tersebut
mengalami kekalahan terns-mencrus. Rasa cemas yang terjadi pada suatu keadaan
tertentu disebut "State Anxiety". Menurut Spielberger (1985)
"state anxiety" adalah keadaan emosional yang terjadi mendadak (pada
waktu tertentu) yang ditandai dengan kecemasan, takut, dan ketegangan; biasanya
diikuti dengan perasaan cemas yang mendalam disertai ketegangan dan
"physiological arousal".
Di samping
"state anxiety" juga dikenal "trait anxiety", yaitu rasa
cemas yang merupakan sifat-sifat pribadi individu. Trait anxiety merupakan
sifat pribadi yang lebih menetap (seperti sifat pembawaan). Atlet yang
memil.ikj "trait anxiety" biasanya menun-jukkan sifat mudah cemas
menghadapi berbagai permasalahan, khususnya pemasalahan yang berhubungan dengan
keamanan pribadinya atau "emotional securi¬ty"-nya. Perasaan cemas
pada dasamya terjadi karena individu khawatir akan terganggu personal
security"-nya, oleh karena itu individu yang bersangkutan menunjukkan
gejala cemas, yang mengandung rasa takut.
"State anxiety" merupakan gejala khusus bagaimana keadaan individu menghadapi situasi tertentu yang mengganggu "personal security"-nya; "state anxie¬ty" mempunyai rujukan obyektif (objective reference). "Trait anxiety" sebagai sifat pribadi individu lebih bersifat tetap dan akan tampak pada berbagai peristiwa atau situasi di mana individu yang bersangkutan merasa terganggu "personal security"-nya; "trait anxiety" mempunyai rujukan subyektif (subjective reference).
"State anxiety" merupakan gejala khusus bagaimana keadaan individu menghadapi situasi tertentu yang mengganggu "personal security"-nya; "state anxie¬ty" mempunyai rujukan obyektif (objective reference). "Trait anxiety" sebagai sifat pribadi individu lebih bersifat tetap dan akan tampak pada berbagai peristiwa atau situasi di mana individu yang bersangkutan merasa terganggu "personal security"-nya; "trait anxiety" mempunyai rujukan subyektif (subjective reference).
Sehubungan
dengan gejala "trait anxiety" tersebut, Silva dan Weinberg (1984)
'mengemukakan adanya gejala "competitive trait anxiety" (CTA) pada
sementara atlet. Gejala CTA tersebut pdalah gejaladi mana atlet menunjukkan
rasa cemas dan ttakut hanya pada waktu 'akan menghadapi kompetisi saja, dan
sesudah selesai kompetisi adet tersebut tidak menunjukkan kecemasan atau
menjadi normal kembali Robert J. Sonstroem (1984) dalam tulisan yang berjudul:
"An Overview of Anxiety in Sport" yang dihimpun oleh Silva dan
Weiberg dalam "Psychological Foundations of Sport", mengemukakan
penelitian Davidson dan Schewartz (1976) yang menggunakan postulat (anggapan
dasar) bahwa persepsi mengenai kecemasan dapat dibedakan atas komponen kognitif
dan somatik. Dengan kuesioner dikembangkan ciri-ciri pengalaman rasa cemas; dan
pengelompokan atas dasar ciri-ciri tersebut digunakan untuk menetapkan sistem,
perlakuan yang dianjurkan Borkovec (1976) sebagai berikut:
"That
is, cognitive anxiety reduction is more compatible with self-instruction and
thought-stopping methods, for example, and somatic anxiety reduction is better
accomplished with methods such as progresive relaxation, biofeed¬back, and
Qxercice."
Temuan
Davidson dan Schwartsz tersebut, merupakan temuan yang sangat berguna untuk
dapat diterapkan dalam menyusun program pembinaan mental atlet, sehubungan
dengan perbedaar.-perbedaan individual atlet yang menunjukkan gejala kecemasan.
3.
Frustasi dalam Olahraga
Frustrasi
timbal karena individu merasa gagal tidak dapat mencapai suatu tujuan yang
diinginkan. Setiap atlet ingin mendapat kepuasan, ingin terpenuhi
kebutuhan¬nya, ingin mencapai harapan untuk menang; dan apabila hal tersebut
tidak terwujud, maka dapat menimbulkan frustrasi.
Sebetulnya frustrasi bukan hanya disebabkan karena kegagalan saja, tetapi terutama datang dari dalam diri atlet itu sendiri yang diliputi perasaan gagal. Cukup banyak atict.yang gagal dalam suatu pertandingan atau gagal mencapai prestasi sesuai apa yang diinginkan, tetapi tidak mengalami frustrasi.
Sebetulnya frustrasi bukan hanya disebabkan karena kegagalan saja, tetapi terutama datang dari dalam diri atlet itu sendiri yang diliputi perasaan gagal. Cukup banyak atict.yang gagal dalam suatu pertandingan atau gagal mencapai prestasi sesuai apa yang diinginkan, tetapi tidak mengalami frustrasi.
Dalam
hubungan dengan kemungkinan terjadinya frustrasi ini pelatih harus memasukkan
program latihan untuk menyiapkan atlet agar slap menghadapi kemungkinan
mengalami kegagalan, disamping mendorong atlet untuk berprestasi
setinggi-tingginya. Kesiapan mental untuk menghadapi semua kemungkinan,
termasuk juga kemungkinan kalah dalam pertandingan merupakan tugas pelatih
untuk menyiapkan seorang calon juara.
Frustrasi
dapat terjadi pada atlet yang mempunyai sifat pesimis maupun atlet yang
mempunyai sifat optimis. Pada atlet yang mempunyai sifat pesimis, pada waktu ia
menghadapi kenyataan kurang berhasil atau belum berhasil, mungkin atlet
tersebut sudah merasa gagal lebih dahulu. Atlet yang memiliki sifat-sifat
pribadi pesimis mudah mengalami frustrasi, karena dalam mengalami kegagalan
sedikit saja, dianggapnya sebagai kegagalan yang akan dialami seterusnya.
Seorang
atlet yang mempunyai sifat optimis adalah baik, karena tanpa memiliki sifat optimis
atlet tidak akan maju; Haman tertalu optimis juga kurang menountungkan. Atlet
yang terlalu optimis adalah atlet yang mempersepsikan diri memiliki kemam-.
puan lebih dari keadaan senyatanya, yaitu lebih dari kemampuan yang dimiliki
sebenar nya. Hal semacam ini terjadi pada atlet yang
"over-confidence". Atlet yang terlalu optimis, pada waktu mengalami
kegagalan, mudah kecewa, kehilangan keseimbangan ernosinya. Sudah barang tentu
hal semacam ini kurang menguntungkan, karena tidak stabiInya emosi akan mengganggu
stabilitas psikisnya secara keseluruhan; ini berakibat konsentrasinya
terganggu, reaksinya berkurang, koordinasi geraknya juga terganggu, dsb-nya.
Pada dasarnya frustrasi lebih mudah terjadi pada atlet yang belum memiliki kematangan emosional, hal ini juga berkaitan dengan sifat-sifat kepribadian atlet yang bersangkutan. Kepercayaan pada diri sendiri merupakan hal yang perlu sekali ditanamkan sejak dini, karena percaya diri merupakan salah satu hal yang memben¬tuk kemampuan menghindarkar, diri dart kemungkinan terjadinya frustrasi. Menum¬buhkan rasa percaya diri merupakan salah satu program latihan mental yang perlu diperhatikan para pelatih.
Pada dasarnya frustrasi lebih mudah terjadi pada atlet yang belum memiliki kematangan emosional, hal ini juga berkaitan dengan sifat-sifat kepribadian atlet yang bersangkutan. Kepercayaan pada diri sendiri merupakan hal yang perlu sekali ditanamkan sejak dini, karena percaya diri merupakan salah satu hal yang memben¬tuk kemampuan menghindarkar, diri dart kemungkinan terjadinya frustrasi. Menum¬buhkan rasa percaya diri merupakan salah satu program latihan mental yang perlu diperhatikan para pelatih.
Tidak
sedikit atlet berbakat yang dapat berprestasi tinggi dan dapat menjadi juara,
akhirnya gagal dan hilang ditengah perjalanan hidupnya sebagai atlet yang
ber¬prestasi, karena merasa gagal dan mengalami frustrasi. Untuk menghindarkan
kemungkinan terjadinya frustasi ,sejak dini secara sistematis atlet perlu
dilatih menghadapi tantangan-tantangan untuk diatasi. Keadaan penuh ketegangan
atau stress menghadapi tantangan akan dapat menimbulkan proses adaptasi, yaitu
penyesuaian diri sehingga akhirnya cukup mampu mengatasi kemungkinan frustrasi.
Seorang.atlet yang cukup mampu untuk.merigatasi kemungkinan mengalami frustrasi, disebut juga atlet yang memiliki "a bight frustration tolerance" (Crotty, 1973). Menurut Saparinah dan Sumarno Markam (1982), atlet-atlet yang bare terjun dalam kompetisi, mempunyai "ambang stress" yang lebih rendah daripada yang sudah lama terjun dalam kompetisi. Karena yang sudah lama terjun dalam kompetisi sudah lebih terlatih dan sudah terbiasa dengan pengalaman yang penuh dengan stress di masa lalu.
Seorang.atlet yang cukup mampu untuk.merigatasi kemungkinan mengalami frustrasi, disebut juga atlet yang memiliki "a bight frustration tolerance" (Crotty, 1973). Menurut Saparinah dan Sumarno Markam (1982), atlet-atlet yang bare terjun dalam kompetisi, mempunyai "ambang stress" yang lebih rendah daripada yang sudah lama terjun dalam kompetisi. Karena yang sudah lama terjun dalam kompetisi sudah lebih terlatih dan sudah terbiasa dengan pengalaman yang penuh dengan stress di masa lalu.
Pernyataan
Saparinah dan Sumarno Markam tersebut lebih menunjang perlunya pembinaan mental
sejak dini; suasana kompetisi yang penuh stress dapat diciptakan sejak dini
sehingga dapat meningkatkan kemampuan talon atlet mengatasi stress, dan
sekaligus akan menghindarkan kemungkinan mengalami frustrasi.
B. Stres Dalam Olahraga (Gejala
emosional)
Seperti
halnya otot-otot kita mengalami ketegangan karena melakukan jaan fisik maka
kitapun dapat mengalami ketegangan psikik, yang disebut
"stress".Menurut Gauron (1984) stress seperti halnya ketegangan otot
tidak dapat dielakan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kita tidak dapat
menghindarkan ketegangan psikik atau stress, beberapa ketegangan diperlukan dan
beberapa ketegangan tidak diperlukan dalam penampilan dan melakukan tugas.
Menurut Gauron kurangnya ketegangan atau "lack of tension" akan
berakibat kita tidak dapat melakukan sesuatu dengan baik. Untuk dapat melakukan
gerakan-gerakan tertentu dibutuhkan adanya ketegangan otot-otot, dimana
ketegangan tersebut sangat diperlukan kemanfaatannya.
Setiap atlet
yang bertanding dalam suatu per-isdwa olahraga merasakan adanya peningkatan
ketegangan emosional untuk mengap.tisipasi situasi pertandingan yang dihadapi.
Singer (1986) mengemukakan bahwa aktivitas penuh ketegangan tidak selalu jelek
bagi seorang atlet. Ditinjau dari macam reaksi mental dan emosional, Singer
menunjukkan dues gejala yang berhubungan dengan emosi, yaitu: tidak adanya
kesiapan dan penuh kesiapan. Tidak adanya kesiapan atau "under
readiness" ada hubungan dengan kurangnya motivasi, sedangkan "over
readiness" atau penuh kesiapan berhubungan dengan kesiapan untuk menang
atau penampilan buruk, ketakutan akan kalah, dsb-nya.
Stress atau
ketegangan psikik bentulmya dapat beraneka macam. Menurut Gauron (1984) stress
menunjukkan gejala tidak sama terhadap tantangan-tantangan Yang dihadapi, untuk
dapat melakukan adaptasi. Menghadapi stress, badan manusia Mengadakan reaksi
dengan cara-cara atau bentuk yang konsisten, ada pengerahan
atau"arousal"system syarat otonom"tertentu.Jadi gejala stress
menurut Gauron tersebut dapat lebih bervariasi dibanding "tension"
atau ketegangan fisik yang dialami seseorang.
1)
Stress dan Pertandingan
Menurut
Scanlan (1984) dalam tulisannya yang berjudul: "Competitive Stress and the
Child Athlete" yang dimuat dalam buku "Psychological Foundations of
Sport" mengemukakan bahwa "competitive stress" atau stress yang
timbul dalam pertandingan merupakan reaksi emosional yang negatif pada anak
apabila rasa harga-dirinya merasa terancam. Hal seperti ini terjadi apabila
atlet yunior menganggap pertandingan sebagai tantangan yang berat untuk dapat
sukses, mengingat kemampuan penampilannya, dan dalam keadaan seperti ini atlet
lebih memikirkan akibat dari kekalahannya.
Stress
selalu akan terjadi pada diri individu apabila sesuatu yang diharapkan mendapat
tantangan, sehingga kemungkinan tidak tercapainya harapan tersebut menghantui
pemikirannya. Stress adalah suatu ketegangan emosional, yang akhir¬nya
berpengaruh terhadap proses-proses psikologik maupun proses fisiologik.
Spielberger
(1986) ja am tulisannya mengenai "Stress and Anxiety in Sports" dalam
kumpulan karya ilmiah yang dihimpun oleh Morgan berjudul "Sport Psychology"
(1986) menegaskan bahwa stress menunjukkan "psychobiological process"
yang kornpieks, can proses ini pacia ainuinnyd Llefjdoil caidm situasi yang
mengandung nai yang dapat merugikan-, berbahaya, atau dapat menimbulkan
frustrasi (stressor).
"Stressor" menurut Spielberger (1986) menunjukkan situasi-situasi atau stimuli yang secara obyektif ditanJai dengan adanya tekanan fisik ataupun psikologik atau bahaya dalam suatu tingkat tertentu. situasi penuh stress akan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dalam tingkat-tingkat yang berbeda dalam perkembangan manusia.
"Stressor" menurut Spielberger (1986) menunjukkan situasi-situasi atau stimuli yang secara obyektif ditanJai dengan adanya tekanan fisik ataupun psikologik atau bahaya dalam suatu tingkat tertentu. situasi penuh stress akan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dalam tingkat-tingkat yang berbeda dalam perkembangan manusia.
Reaksi yang
berbeda-beda akan muncul dalam menghadapi "stressor", tergan¬tung
pada situasi tertentu yang diperkirakan mengandung ancaman. Ancaman juga
berkaitan dengan persepsi dan penilaian individu terhadap situasi yang dihadapi
sebagai hal yang dapat merugikan dan mengandung bahaya. Dalam hubungannya
dengan aktivitas olahraga, khususnya kemungkinan terjadinya stress menghadapi
pertandingan, maka permasalahannya sangat banyak tergantung pada din atlet yang
bersangkutan.
Mengenai
timt)ulnya stress, Gauron (1984) berkesimpulan:
1.
"Because stress is an
inevitable part of life, it cannot be avoided.
2.
Since stress is inevitable,
individuals must reduce its effects and cope through a personal stress management
program.
3.
Chronic stress may have adverse
effects upon the body particularly if it is not taught to relax". Mungkin
sekali suatu situasi yang sama dapat dirasakan sebagai ancaman bagi seorang
atlet, tetapi hanya merupakan tantangan bagi atlet lain, dan mungkin bahkan
tidak berarti apa-apa bagi atlet lain. Jadi dari pengalaman-pengalaman mengenai
an¬caman, ada hubungannya dengan keadaan mental atlet yang bersangkutan.
Mengenai ancaman dalowikaitannya dengan keadaan mental atlet, Spielberger (1986) mengemukakan'adanya dua karakteristik pokok, yang disimpulkannya sebagai berikut: 'Thus, the experience of threat is, essentially, a state of mind which has two mein characteristics:
Mengenai ancaman dalowikaitannya dengan keadaan mental atlet, Spielberger (1986) mengemukakan'adanya dua karakteristik pokok, yang disimpulkannya sebagai berikut: 'Thus, the experience of threat is, essentially, a state of mind which has two mein characteristics:
1)
It is future-oriented, generally
involving the anticipation of a potentially harmful event that has not yet
happened; and
2)
It is mediated by mental
activities-peerception, thought, memory, and judg¬ment which are involved in
the appraisal process".
Penilaian adanya ancaman yang dihadapi clan adanya penilaian bahaya yanq dihadapi (masa depan) memberi andil penting terhadap timbulnya reaksi emosional serta tindakan yang akan diambil individu menghindari ancaman atau bahaya dihadapinya.
Penilaian adanya ancaman yang dihadapi clan adanya penilaian bahaya yanq dihadapi (masa depan) memberi andil penting terhadap timbulnya reaksi emosional serta tindakan yang akan diambil individu menghindari ancaman atau bahaya dihadapinya.
2)
Arousal" dan "Inverted
U"
Arousal"
adalah hal yang tidak dapat dielakkan seperti timbulnya ketegangan fisik atau
"tension" dan stress. Yang dimaksudkan dengan "arousal"
adalah gejala yang menunjukkan adanya pengerahan peningkatan aktifitas psikis.
Teriadinya gejala "arousal" biasanya berjalan sejajar dengan terjadinya
peningkatan penampilan atlet; dengan kata lain ada korelasi positif antara
"arousal" dengan penampilan atlet.
Menurut Cox
(1985) "arousal" adalah suatu istilah netral yang menunjukkan
peningkatan aktivitas sistem syaraf simpatetis. Ini menunjukkan intensitas
peningkatan giologis, dan tidak dapat digunakan untuk menunjukkan keadaan
emosional terten¬tu. Misalnya, baik orang dalam keadaan senang maupun dalam
keadaan takut, ke duanya dapat menyebabkan "arousal" fisiologis;
meskipun rasa takut adalah qeja4, afek yang bersifat negatif, sedangkan senang
atau gembira adalah gejala afek yang bersifat positif.
Mengenai
hubungan antara "arousal" dan penampilan atlet yang digambarkan
sebagai garis lurus (garis linear), seolah-olah ada korelasi positif antara
"arousal" dengan peningkatan penampilan secara terus-menerus,
mendapat tantangan antara lain dengan munculnya teori "Inverted U"
atau teori U terbalik. Menurut teori "Inverted U" baik arousal"
tingkat rendah maupun tingkat tinggi tidak akan menghasiikan penampilan yang
setinggi-tingginya ("peak performance'). Tingkat "arousal"
moderat (sedang) pads umumnya memberi kemungkinan lebih besar untuk pencapaian
puncak penampilan atau "peak performance".
Richard H. Cox (1985) mengemukakan adanya dua teori dasar mengenai hubungan "arousal" dan penampilan; yang pertama adalah teori "Inverted U", dan yang ke dua adalah teori drive. Teori "drive" adalah teori multidimensional mengenai l(Rampilan dan proses bellajar, sedangkan teori "Invel–ted U" meliputi berbagai sub- teori yang menjelaskan mengapa saling hubungan antara "arousal" dan penampilan ,ituk kurve persamaan kuadrat. Teori "drive" membentuk gars hubungan linear.
Dewasa ini para ahli cenderung lebih setuju dengan teori "Inverted U" diban ding teori "Drive" yang digambarkan dengan garis linear (seperti pada Gambar 1. Hubungan secara positif yang menunjukkan adanya korelasi positif, yaitu peningkatan "arousal' akan selalu diikuti peningkatan penampilan; sudah dapat dibayangkan bahwa pada suatu waktu tentu ada batasnya di mans garis hubungan korelasi positif akan berhenti.
Kalau ditelusuri lebih jauh, maka penemu teori "Inverted U" yang merupakan hasil karya klasik adalah Yerkes dan Dodson pada tahun 1908 (Cox, 1985) Yerkes dan Dodson pada waktu itu menemukan saling hubungan antara "arousal" dan kesukaran tugas terhadap, dampaknya pada penampilan.
Richard H. Cox (1985) mengemukakan adanya dua teori dasar mengenai hubungan "arousal" dan penampilan; yang pertama adalah teori "Inverted U", dan yang ke dua adalah teori drive. Teori "drive" adalah teori multidimensional mengenai l(Rampilan dan proses bellajar, sedangkan teori "Invel–ted U" meliputi berbagai sub- teori yang menjelaskan mengapa saling hubungan antara "arousal" dan penampilan ,ituk kurve persamaan kuadrat. Teori "drive" membentuk gars hubungan linear.
Dewasa ini para ahli cenderung lebih setuju dengan teori "Inverted U" diban ding teori "Drive" yang digambarkan dengan garis linear (seperti pada Gambar 1. Hubungan secara positif yang menunjukkan adanya korelasi positif, yaitu peningkatan "arousal' akan selalu diikuti peningkatan penampilan; sudah dapat dibayangkan bahwa pada suatu waktu tentu ada batasnya di mans garis hubungan korelasi positif akan berhenti.
Kalau ditelusuri lebih jauh, maka penemu teori "Inverted U" yang merupakan hasil karya klasik adalah Yerkes dan Dodson pada tahun 1908 (Cox, 1985) Yerkes dan Dodson pada waktu itu menemukan saling hubungan antara "arousal" dan kesukaran tugas terhadap, dampaknya pada penampilan.
Untuk
menelid "arousal", cukup banyak "electrophysiological
indicators" un¬tuk mengetahui gejala "arousal", misalnya: dapat
diukur dengan "elec-troencephalograph" (EEG), mengukur denyut jantung
dengan "electrocardiograph" (EKG), mengukur ketegangan otot dengan
"electromyograph" (EMG), kecepatan per-nafasan, tekanan darah,
keringat pada telapak tangan, dsb-nya.
Menurut
Joseph B. Oxendine (1980) yang menulis tentang "Emotional Arousal amt
Motor Performance" datum kutnpulan karya ilmiah yang himpun Richard N.
Suinn "Psychology in Sports", ada hubungan antara kecemasan dengan
"emotional arousal". Apabila seseorang berbicara tentang
"emotional arousal" maka is akan menghubungkan dengan salah sate atau
beberap5 jala negatif seperti: rasa takut, marah, rasa cemas, iri-hati, rasa
malu, berki; )emu, dsb-nya. Gejala-gejala yang positif misalnya: gem¬bira,
sangat berminat, bahagia, cinta, dsb-nya.
"Arousal"
emosional yang negatif dapat mengganggu atau mengacaukan penampilan atlet.
Mengenai hal ini juga pernah diteliti oleh pars ahli psikologi olahraga selama
berlangsungnya Olympic Game 1968,
C. Upaya Pengendaliannya terhadap kecemasan dan stress dalam olahraga
Dalam upaya pengendalian kecemasan (anxiety) dan stress dalam olahraga penulis garis bawahi diantaranya: 1. Strategi Relaksasi, 2. Strategi kognitif, 3.teknik-teknik peredaan ketegangan dan mekanisme pertahanan diri
C. Upaya Pengendaliannya terhadap kecemasan dan stress dalam olahraga
Dalam upaya pengendalian kecemasan (anxiety) dan stress dalam olahraga penulis garis bawahi diantaranya: 1. Strategi Relaksasi, 2. Strategi kognitif, 3.teknik-teknik peredaan ketegangan dan mekanisme pertahanan diri
1.
Strategi Relaksasi
Keadaan
relaks adalah keadaan saat seorang atlet berada dalam kondisi emosi yang tenang,
yaitu tidak bergelora atau tegang. Keadaan tidak ber¬gelora tidak berarti
merendahnya gairah untuk ben-nain, melainkan dapat diatur atau dikendalikan
pada titik atau daerah Z sesuai dengan hipotesis U-terbalik.
Untuk
mencapai keadaan tersebut, diperlukan teknik-teknik tertentu melalui berbagai
prosedur, baik aktif maupun pasif. prosedur aktif artinya kegiatan dilakukan
sendiri secara aktif. Sementara itu, prosedur pasif ber¬arti seseorang dapat
mengendalikan munculnya emosi yang bergelora, atau dikenal sebagai latihan
autogenik.
Teknik relaksasi pertama kali dikembangkan oleh Edmund Jacobsen pada awal tahun 1930-an. Jacobsen mengemukakan bahwa seseorang yang sedang berada dalam keadaan sepenul-inya relaks tidak akan memperli¬hatkan respons emosional seperti terkejut terhadap suara keras. pada ta¬hun 1938, Jacobsen merancang suatu teknik relaksasi yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya apa yang disebut dengan Latihan Relak¬sasi progresif (Progressive Relaxation Training).
Teknik relaksasi pertama kali dikembangkan oleh Edmund Jacobsen pada awal tahun 1930-an. Jacobsen mengemukakan bahwa seseorang yang sedang berada dalam keadaan sepenul-inya relaks tidak akan memperli¬hatkan respons emosional seperti terkejut terhadap suara keras. pada ta¬hun 1938, Jacobsen merancang suatu teknik relaksasi yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya apa yang disebut dengan Latihan Relak¬sasi progresif (Progressive Relaxation Training).
Dengan
latihan relaksasi, Jacobsen percaya bahwa seseorang dapat diubah menjadi relaks
pada otot-ototnya. Sekaligus juga, latihan ini me¬ngurangi reaksi emosi yang
bergelora, baik pada sistem saraf pusat mau¬pun pada sistem saraf otonom.
Latihan ini dapat meningkatkan perasaan segar dan sehat.
Kira-kira
pada waktu yang bersamaan, seorang dokter di Jerman bernama Johannes Schultz,
memperkenalkan suatu teknik pasif agar se¬seorang mampu menguasai munculnya
emosi yang bergelora. Schultz menyebut latihan tersebut sebagai Latihan Autogenik
(Autogenic Training). Teknik ini dapat melatih seseorang untuk melakukan
sugesti diri, agar is dapat mengubah sendiri kondisi kefaalan pada tubuhnya
untuk mengen¬dalikan munculnya emosi yang terlalu bergelora. Setelah diajarkan
cara¬cara untuk melaksanakannya, seseorang tidak lagi tergantung pada ahli
terapinya, melainkan dapat melakukannya sendiri melalui teknik sugesti diri
(auto-sugestion technique). Jadi, dengan melakukan autogenic training, seorang
atlet dapat mengubah sendiri kondisi kefaalannya. Ia juga dapat mengatur dan
mengendalikan pemunculan emosinya pada tingkatan yang dikehendaki.
Beberapa
contoh dari latihan ini adalah latihan untuk merasakan berat dan panas pada
anggota gerak, dengan ungkapan, "Saya rasakan le¬ngan kanan saya
berat", "saya rasakan lengan kanan saya panas dan re¬laks."
Latihan pemapasan atau pengaturan aktivitas jantung dan paru¬paru, dengan
contoh ungkapan, "Pemapasan saya lebih tenang dan de¬nyut jantung saya
berdetak lebih lambat". Serta latihan untuk merasakan panas atau dingin
pada perut clan dahi. "Da-hi dan perut saya lebih dingin." Jadi,
latihan autogenik merupakan suatu latihan yang menitikberatkan munculnya
kemampuan pengendalian gejolak emosi pada tubuh.
Kemudian,
sekitar tahun 1950-an, seorang tokoh beraliran behavior¬istik, Joseph Wolpe,
melakukan modifikasi dari teknik relaksasi milik Jacobsen. Wolpe menganggap
bahwa teknik milik Jacobsen tersebut me¬makan waktu terlalu lama. Ia lalu
merancang teknik yang lebih pendek, lebih sederhana, dan lebih mudah dilakukan.
Teknik ini dikenal dengan narna latihan relaksasi progresif yang merupakan
dasar untuk melakukan pengebalan sistematik (systematic desensitization).
Teknik ini digunakan untuk menangani seseorang yang memiliki masalah ketegangan
dan ke¬cemasan. Mereka yang membutuhkan dapat diajarkan untuk melakukan teknik
tersebut sendiri, dengan mempergunakan alat biofeedback (EMG).
Dalam perkembangannya, teknik-teknik yang digunakan, baik oleh Jacobsen maupun Wolpe, dianggap kurang efisien. Oleh karena itu, ke¬mudian bermunculan model-model relaksasi barn sebagaimana yang di¬kemukakan oleh Bernstein & Borkovec (1973) dan Bernstein & Geffen (1984).
Dalam perkembangannya, teknik-teknik yang digunakan, baik oleh Jacobsen maupun Wolpe, dianggap kurang efisien. Oleh karena itu, ke¬mudian bermunculan model-model relaksasi barn sebagaimana yang di¬kemukakan oleh Bernstein & Borkovec (1973) dan Bernstein & Geffen (1984).
Dalam
perkembangan selanjutnya, latihan relaksasi progresif digu¬nakan sebagai teknik
tersendiri, tidak lagi sebagai bagian dari pendekatan behavioristik. Awalnya,
latihan relaksasi progresif ini digunakan oleh pa¬sien penderita kecemasan atau
ketegangan yang bersumber pada gejolak emosinya.Latihan relaksasi progresif
juga dapat dilakukan melalui suatu alat yang dikenal dengan sebutan biofeedback
atau EMG (elektromyografi). EMG memiliki fungsi mencatat atau merekam
intensitas ketegangan otot¬otot seseorang, untuk kemudian ditampilkan dalam
bentuk ukuran angka¬angka, misalnya +3 atau +10. Dengan menggunakan alat
tersebut, sese¬orang dapat memantau tingkatan ketegangan sebelum maupun sesudah
dilakukan latihan.
Dengan
adanya kemampuan untuk memantau perubahan tingkatan ketegangan pada diri
sendiri, maka ketegangan otot-otot dapat diatur sampai pada keadaan relaks yang
dikehendaki. Arti praktisnya adalah, seseorang dapat mengatur
ketegangan-ketegangan ototnya menjadi lebih relaks, sehingga gejolak emosinya
pun menjadi lebih tenang. Apabila penggunaan biofeedback telah dilakukan
berkali-kali, maka relaksasi dapat dilakukan kapan pun dan di mana pun, tanpa
membutuhkan alat biofeed¬back lagi.
Oleh karma
itu, para ahli kemudian berupaya keras untuk mencari modifikasi agar latihan
relaksasi progresif dapat dilakukan dalam format yang lebih pendek dan praktis.
Apabila seseorang telah beberapa kali ber¬hasil dalam keadaan relaks, maka
pengelompokan otot dapat diperbesar menjadi lima kelompok, yaitu:
1.
Lengan dan tangan bersama-sama.
2.
Semua otot muka.
3.
Dada, pundak, punggung bagian atas,
perut.
4.
Pinggul dan pangkal paha.
5.
Kaki dan tapak kaki.
Contoh lain
dari modifikasi tersebut adalah teknik pernapasan atau breathing technique.
Teknik ini banyak dilakukan oleh para atlet karma da¬pat dilakukan di sembarang
tempat, misalnya di pinggir arena pertan¬dingan, saat menunggu waktu untuk
bermain, demikian pula pada saat gejolak emosi sedang memuncak, misalnya pada
malam sebelum pertan¬dingan, atau beberapa jam sebelum pertandingan.
Menurut Masters, dan kawan-kawan (1987) (dalam Gunarsa, S.D., 2002), manfaat dari melakukan latihan relaksasi progresif adalah:
Menurut Masters, dan kawan-kawan (1987) (dalam Gunarsa, S.D., 2002), manfaat dari melakukan latihan relaksasi progresif adalah:
1.
Meningkatnya pemahaman mengenai
ketegangan otot. Artinya, ada pemahaman bahwa gejolak emosi berpengaruh
terhadap ketegangan otot dan sebaliknya.
2.
Meningkatnya kemampuan untuk
mengendalikan ketegangan otot.
3.
Meningkatnya kemampuan untuk
mengendalikan kegiatan kognitif, yaitu meliputi kemampuan pemusatan perhatian
terhadap suatu objek
4.
Meningkatnya kemampuan untuk
melakukan kegiatan.
5.
Menurunnya ketegangan otot.
6.
Menurunnya gejolak emosi karena
pengaruh perubahan kefaalan.
7.
Menurunnya tingkat kecemasan, serta
emosi-emosi negatif lainnya.
8.
Menurunnya kekhawatiran dan
ketakutan.
Selain
latihan relaksasi progresif, dalam melakukan perubahan atau rnodifikasi suatu
perilaku, dikenal pula suatu teknik yang disebut sebagai systematic
desensitization atau teknik pengebalan sistematik.
Jika terdapat suatu keadaan atau objek yang dipersepsikan tidak menguntungkan sehingga mempengaruhi gejolak emosi secara luar biasa clan ditampilkan dalam emosi tegang, maka tentu akan berakibat buruk terhadap penampilan. Seorang atlet dapat Baja merasakan ketakutan-ke¬takutan tertentu pada saat bertanding, seperti hal-hal yang berkaitan de¬ngan lawan tandingnya, suhu arena atau cuaca pada umumnya, angin, sorakan penonton, atau penilaian dari tokoh-tokoh tertentu yang sedang menyaksikan.
Jika terdapat suatu keadaan atau objek yang dipersepsikan tidak menguntungkan sehingga mempengaruhi gejolak emosi secara luar biasa clan ditampilkan dalam emosi tegang, maka tentu akan berakibat buruk terhadap penampilan. Seorang atlet dapat Baja merasakan ketakutan-ke¬takutan tertentu pada saat bertanding, seperti hal-hal yang berkaitan de¬ngan lawan tandingnya, suhu arena atau cuaca pada umumnya, angin, sorakan penonton, atau penilaian dari tokoh-tokoh tertentu yang sedang menyaksikan.
Namun demikian,
keadaan-keadaan seperti ini merupakan hal yang mutlak harus dihadapi. Oleh
karena itu, seorang atlet harus mampu menghadapi keadaan-keadaan yang tidak
menyenangkan sebagaimana disebutkan di atas. Kemampuan untuk menghadapi dan
mengatasi terse-but merupakan keterampilan individual dan khusus yang diajarkan
oleh pelatih atau psikolog olahraganya.
Teknik
pengebalan sistematik (systematic desensitization) merupakan latihan bertahap
untuk mengurangi kepekaan terhadap suatu rangsang, sehingga terbentuk habituasi
atau pembiasaan. Suatu rangsang yang awalnya menimbulkan gejolak emosi yang
sangat tinggi, melalui latihan sistematik tertentu, lambat-laun tidak lagi
dipersepsikan negatif. Secara bertahap, akan terjadi pengurangan atau
pengenduran reaksi emosi, se¬hingga gejolak emosi pun menjadi stabil.
Jadi, sumber
rangsang tidak diubah atau diganti, melainkan di dalam diri atlet terjadi
perubahan secara sistematik Gejolak emosi yang pada awalnya sangat tinggi saat
menghadapi suatu keadaan, lambat-laun men¬jadi berkurang. Ini merupakan prinsip
sistematik desensitisasi, atau upaya untuk mengatur reaksi-reaksi emosi yang
bergejolak dalam batas-batas proporsi yang wajar dan tidak merugikan.
Cara relaksasi lainnya adalah transcendental meditation atau meditasi transendental. Teknik ini merupakan relaksasi yang dikembangkan dari tradisi India, diperkenalkan di Amerika pada awal tahun 1960-an oleh se¬orang pendeta India, Maharishi Mahesh Yogi.
Keith Wallace dari UCLA merupakan salah satu psikolog pertama yang menyelicliki mengenai teknik tersebut. Penelitian Wallace (1971) me¬nunjukkan bahwa teknik tersebut memberikan efek luar biasa pada tubuh, yaitu detak jantung menurun sampai stabil clan peredaran asam laktat menjadi tiga kali lebih cepat dibandingkan saat beristirahat biasa.
Cara relaksasi lainnya adalah transcendental meditation atau meditasi transendental. Teknik ini merupakan relaksasi yang dikembangkan dari tradisi India, diperkenalkan di Amerika pada awal tahun 1960-an oleh se¬orang pendeta India, Maharishi Mahesh Yogi.
Keith Wallace dari UCLA merupakan salah satu psikolog pertama yang menyelicliki mengenai teknik tersebut. Penelitian Wallace (1971) me¬nunjukkan bahwa teknik tersebut memberikan efek luar biasa pada tubuh, yaitu detak jantung menurun sampai stabil clan peredaran asam laktat menjadi tiga kali lebih cepat dibandingkan saat beristirahat biasa.
Meditasi
transendental merupakan teknik mental yang dapat di¬praktekkan setiap pagi dan
malam selama 15 sampai 20 menit, saat sese¬orang duduk nyaman dengan mats
tertutup sambil memikirkan suatu 'mantera' tertentu. Setelah 20 menit, ketegangan
tubuh akan mengenclor total dan orang yang bersangkutan akan mengalami kondisi
yang segar dan dinamis, percaya diri, serta siap untuk beraksi.
Meditasi transendental dilakukan seseorang dengan memusatkan perhatian dan berkonsentrasi terhadap suatu objek atau pikiran dan ke¬giatan tersebut ditahannya untuk beberapa waktu dalam posisi tubuh yang nyaman, tanpa terganggu atau teralih perhatian dan konsentrasinya. Apabila hal tersebut dapat dilakukan, maka akan diperoleh keadaan relaks.
Meditasi transendental dilakukan seseorang dengan memusatkan perhatian dan berkonsentrasi terhadap suatu objek atau pikiran dan ke¬giatan tersebut ditahannya untuk beberapa waktu dalam posisi tubuh yang nyaman, tanpa terganggu atau teralih perhatian dan konsentrasinya. Apabila hal tersebut dapat dilakukan, maka akan diperoleh keadaan relaks.
Selama
meditasi, tubuh akan mencapai tahap sadar sepenuhnya na¬mun tanpa beban pikiran
apa pun. Pada kondisi tersebut, seseorang akan siap menghadapi rangsang apa
pun, serta siap memberikan respons yang sesuai dan optimal.
2.
Strategi Kognitif
Strategi
kognitif didasari oleh pendekatan kognitif yang menekankan bahwa pikiran atau
proses berpikir merupakan sumber kekuatan yang ada dalam diri seseorang. Jadi,
kesalahan, kegagalan, ataupun kekecewaan, tidak disebabkan oleh objek dari
luar, namun pada hakikatnya bersumber pada inti pikiran atau proses berpikir
seseorang.
Misalnya,
seorang atlet bulutangkis tidak dapat menyalahkan shuttle¬cock karena berat
atau kecepatannya berbeda dari biasanya, karena yang menentukan sesuai atau
tidaknya caranya memukul dan kekuatan pu¬kulan adalah proses berpikir atlet
tersebut. Jadi, yang seharusnya diubah adalah pengendali perilaku atlet, dalam
hal ini gerakan atau pukulannya, agar dapat menyesuaikan dengan keadaan khusus.
Dari penjelasan ini, tampak bahwa proses kognitif merupakan sumber dari semua
perilaku pada atlet.
Salah satu
kegiatan yang mendukung berfungsinya proses kognitif adalah kegiatan pemusatan
perhatian yang bersumber pada inti pikiran seseorang. Contohnya, pemikiran
sebagai berikut: "Saga memusatkan perhatian terhadap kornitmen saya untuk
bermain sesuai dengan apa yang sudah saya latih dan strategi bermain
saya." Kegiatan ini merupakan ke¬giatan menginstruksi diri sendiri
(self-instruction), sehingga apa pun yang akan terjadi dalam permainan, atlet
akan berpedoman pada proses ber¬pikirnya.
Namun dalam
kenyataannya, strategi kognitif seperti ini sangat erat kaitannya dengan status
emosi dan berbagai macam pergolakannya. Per¬golakan tersebut berasal dari
tingkat ketegangan yang dialami oleh atlet, khususnya yang bersumber pada
dirinya, yakni trait anxiety.
3.
Teknik-teknik Peredaan Ketegangan
Hanya
mengetahui "apa" atau "the what"saja mengapa atlet tegang
atau takut tanpa mengetahui "the how" atau "bagaimana" cara
penyembuhannya tidaklah banyak man¬faatnya dan tidak akan menolong atlet. Oleh
karena itu, pelatih sebaiknya juga mempersenjatai diri dengan kete¬rampilan
bagaimana cara meredakan ketegangan yang ada pada atlet. Ada beberapa teknik
yang bisa membantu menu¬runkan atau mengurangi ketegangan atlet
(desensitizatioll, techniques). Antara lain:
a.
Teknik Jacobson dan Schultz, yaitu
dengan mengu¬rangi arti pentingnya pertandingan dalam benak atlet, atau
mengurangi ancaman hukuman kalau atlet gagal.
b.
Teknik Cratty. Dengan teknik ini,
mula-mula disusun suatu urutan (hierarki) anxiety yang dialami atlet, dari Yang
paling ditakuti sampai yang paling kurang ditakuti oleh atlet. Pada permulaan,
atlet dihadapkan pada situ¬asi yang paling sedikit membangkitkan anxiety.
Setelah atlet terbiasa dan tidak takut lagi dengan situasi terse-but, dia kemudian
dilibatkan dalam situasi takut yang agak lebih berat. Demikian seterusnya.
c.
Teknik progressive muscle relaxation
dari Jacobson, yaitu latihan memaksa otot-otot yang tegang dijadikan relaks.
d.
Teknik autogenic relaxation, yaitu
toknik relaksasi Yang menekankan pada sugesti diri (self-suggestion).
e.
Latihan pernapasan dalam (deep
breathing).
f.
Meditasi.
g.
Berpikir positif.
h.
Visualisasi.
i.
Latihan simulasi: pada waktu
latihan, berlatihlah de¬ngan menciptakan situasi seakan-akan sedang betul¬betul
bertanding, dan usahakan untuk tampil sebaik¬baiknya. Lakukan latihan dengan
intensitas yang tinggi seperti dalam pertandingan sebetulnya. Biarkan atlet
mengalami stres fisik maupun mental.
Dengan berulang kali berlatih dengan stres yang tinggi, diharapkan lama-kelamaan ketegangan atlet akan ber¬kurang pada waktu menghadapi stres.
Dengan berulang kali berlatih dengan stres yang tinggi, diharapkan lama-kelamaan ketegangan atlet akan ber¬kurang pada waktu menghadapi stres.
4.
Mehanisme pertahanan diri
Anxiety,
kekhawatiran, dan ketakutan yang berke¬camuk dalam diri atlet adalah gejala
yang umum dalam olahraga. Anxiety dan ketakutan adalah reaksi terhadap perasaan
"khawatir akan terancam pribadinya". Karena anxiety yang dialami
atlet adalah sesuatu keadaan yang sangat tidal? enak dan selamanya akan
berkecamuk dalam kehidupan seorang atlet, maka dibutuhkan suatu mekanis¬me di
dalam kepribadiannya untuk inenolongitya inengotasi atau ineinb,-baskan dirinya
dari anxiety tersebut. Mekanis¬me ini biasanya disebut security operation atau
defense inechanisin. Jadi mekanisme ini berfungsi sebagai alai agar
kepribadiannya tidak merasa terancam. Sering kali meka¬nisme ini bekerja
demikian efektif sehingga atlet benar¬benar terlindung dari perasaan cemas
tersebut.
Tampaknya di semua cabang olahraga sering terjadi mekanisme pertahanan demikian, bukan hanya oleh atlet, akan tetapi juga oleh pelatih, tim manajer, pengurus dan lain-lain.
Tampaknya di semua cabang olahraga sering terjadi mekanisme pertahanan demikian, bukan hanya oleh atlet, akan tetapi juga oleh pelatih, tim manajer, pengurus dan lain-lain.
Memang
mungkin saja alasan yang dikemukakan atlet, pelatih, Tim Manajer, Pengurus,
KONI, dan lain-lain me¬mang betul karena lapangan licin, bola tidak bundar,
banyak angin, penonton ribut. Akan tetapi kebanyakan alasannya tidak rasional
dan hanya merupakan manifestasi dari pera¬saan kecewa karena mengalami
kegagalan, serta kedok agar terhindar dari perasaan cemas dan takut akan
dikritik, di-cemooh, dikecam oleh masyarakat, dan agar mereka tidak disalahkan
oleh masyarakat atas kekalahan atau kegagalan mereka. Karena itu penyebab
kegagalannya dilimpahkan kepada orang atau benda lain di luar dirinya.
Sebagai
pelatih, kita harus mendidik dan melatih para atlet agar tidak membiasakan diri
menggunakan defense inechanisin yang tidak wajar sebagaimana contoh-contoh
tersebut di atas. Sebab-sebab dari setiap kegagalan haruslah didiskusikan,
dievaluasi, dianalisis secara rasional, intelek¬tual dan inteligen. Pelatih
harus mengajarkan dan mendidik atlet agar tidak meremehkan kegagalan, dan
menilai setiap kegagalan dengan penuh pemahaman dan pengertian yang wajar.
Dengan demikian dapatlah diharapkan pula bahwa maturitas mental para atlet
sedikit demi sedikit dapat dikembangkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka penulis dapat simpulkan antara lain :
1.
bahwa (a) atlet harus dilatih agar
tingkat Kecemasan, stress dan ketegangannya makin lama makin rendah (tapi
jangan hilang sama sekali), dan (b) ambisinya untuk menang semakin
ditingkatkan.
2.
Menjadi semakin penting untuk
memberikan latihan-latihan peredaan kecemasan, stress dan ketegangan kepada
atlet-atlet atau anak didik.
3. petunjuk-petunjuk
peredaan Anxiety dan kecemasan akan efektif apabila diberikan pada saat-saat
men¬jelang permulaan dan akhir pertandingan.
B. Saran
Membahas
tentang anxiety dan stress dalam olahraga serta pengendaliannya maka ada
beberapa saran yang dapat digaris bawahi dalam makalah ini antara lain :
1.
Didalam memahami anxiety dan stress
dalam olahraga serta pengendaliannya diharapkan setiap individu mampu dan
memahami tentang anxiety dan stress dalam olahraga serta pengendaliannya. Pada
hakikatnya setiap individu diharapkan mampu memahami anxiety dan stress dalam
olahraga serta pengendaliannya ini, yakni keluarga pendidik dan penentu
kebijakan yang berkepentingan didalamnya sebagai tempat atau wadah pengembang
pendidikan agar menjadi lebih luas dalam perkembanganan pendidikan terutama
perkembangan psikologi olahraga dalam pendidikan jasmani dan olahraga.
2.
anxiety dan stress dalam olahraga
serta pengendaliannya tidak dapat dipisahkan karena ketiganya saling
mempengaruhi didalam meningkatkan dan mengembangkan prestasi atlet.
DAFTAR
PUSTAKA
Bakker,
F.C., Whiting, "I.T.A., & Van der Brug. (1990). Sport psychology,
concepts and applications. New York: John Wiley & Sons.
Cratty, B.J.
(1973). Psychology in contemporary sport. New York: Prentice Hall, Inc.
Eberspacher,
H. (1982). Sportpsychologie, Grundlagen, Methoden, Analysers. Rowohlt: Reinbek.
Harsono.
(1988). Coaching dan aspek-aspeh psihologis
dalam coaching. Jakarta: C.V. Tambak Kusuma.
dalam coaching. Jakarta: C.V. Tambak Kusuma.
Harsono.
(1990). Metode Mengajarkan Keterampilan Olah¬raga. Lokaharya Pendidihan Berpihir,
IKIP Ban¬dung. Makalah.
Loehr, J.E.
(1986). Mental toughness training for sports., New York: A Plume Book.
McKinney, R.
(1988). Archery. Tokyo: Sakamoto Kikaku¬shitsu.
Oxendine,
J.B. (1968). Psychology of motor learning. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Vanek, M.
& Cratty, B.J. (1970). Psychology of the supe¬rior athlete. London: The
Macmillan Company.
Weinberg,
R.S. (1988). The mental advantage. Cham¬paign, Illinois: Leisure Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar